Simak materi tersebut selengkapnya pada link berikut ini:
BERJALAN DI DALAM ROH, BELAJAR DARI FILIPUS
Ruang Remaja
“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru:
yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang."
2 Korintus 5:17 (TB)
Kisah Nyata: Paivi Räsänen — Membela Iman di Tengah Masyarakat Sekuler
Paivi Räsänen adalah seorang dokter, ibu, sekaligus politisi asal Finlandia yang juga sangat aktif dalam gerejanya. Meskipun bukan remaja, kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak anak muda di Finlandia yang hidup di tengah masyarakat yang sangat sekuler dan bebas.
Pada tahun 2019, Paivi mengunggah sebuah twit berisi pandangan alkitabiah tentang pernikahan dan seksualitas, serta mempertanyakan mengapa gereja Finlandia mendukung acara yang bertentangan dengan ajaran Alkitab. Tak lama kemudian, ia dilaporkan ke pihak kepolisian atas tuduhan “ujaran kebencian.”
Selama proses hukum yang panjang, Paivi tidak gentar. Ia berkata, “Saya tidak akan menarik kata-kata saya. Saya berdiri di atas Firman Tuhan.” Walau mendapat tekanan besar dari media dan masyarakat, ia tetap ramah, tidak menyerang balik, dan menunjukkan kasih — tetapi juga teguh dalam kebenaran.
Perjuangannya membuat banyak remaja Kristen di Finlandia mulai berani menyatakan iman mereka secara terbuka — sesuatu yang selama ini dianggap tabu di ruang publik.
Relevansi dengan Alkitab: Dianiaya karena Kebenaran
Yesus berkata bahwa orang yang dianiaya karena kebenaran adalah orang yang berbahagia. Paivi menunjukkan bahwa berdiri untuk kebenaran Alkitab tidak selalu mudah, bahkan di negara demokrasi yang modern. Tapi keberaniannya menghidupkan kembali semangat anak-anak muda Kristen di Finlandia untuk tidak malu akan iman mereka.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Di mana pun kita berada — apakah di Eropa yang sangat bebas, atau di lingkungan sekolah yang tidak peduli pada iman — akan selalu ada tantangan untuk berdiri dalam kebenaran. Kisah Paivi Räsänen menunjukkan bahwa berani menyuarakan iman dengan kasih dan hormat adalah bentuk nyata dari kedewasaan rohani. Jangan takut berbeda, karena kebenaran Tuhan tidak berubah, sekalipun dunia berubah. (MA)
“God can turn a mess into a message,
a test into a testimony,
and a trial into triumph."
Anonim(TB)
Ruang Keluarga
Di tengah dunia yang makin cepat berubah, banyak pasangan yang baru terjun dalam pernikahan masih merasa gamang dalam menapaki kehidupan pernikahan. Tantangan finansial, pengaruh media sosial, dan budaya yang seakan menormalkan perceraian, semua bercampur aduk sehingga menimbulkan keresahan. Belum lagi di tengah perubahan budaya dan gaya hidup modern saat ini, pernikahan kristen menghadapi tantangan untuk tetap menjaga nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan. Kuatnya arus perubahan budaya dan gaya hidup ini tanpa terasa mulai mengguncang nilai-nilai dan tujuan pernikahan yang ditetapkan Allah pada mulanya. Di mana kita bisa menemukan makna sejati dari pernikahan? Apakah masih ada fondasi yang kokoh dan tak tergoyahkan? Jawaban atas keresahan itu ditemukan dalam Alkitab.
Ketika ikatan pernikahan sering dianggap sebagai beban atau bahkan pilihan usang, iman Kristen justru memberikan jawaban yang penuh harapan: Kristus memberi nilai sejati dan kekal bagi pernikahan.
Pernikahan Adalah Ide Allah
Pernikahan adalah lembaga pertama dalam dunia ini. Allah telah menciptakan pernikahan / keluarga sebelum ada institusi lain seperti satu bangsa, kerajaan ataupun gereja. Pernikahan adalah rencana dan desain Allah sendiri. Pernikahan adalah bagian dari ciptaan yang “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Dalam pernikahan, Allah merancang persatuan yang mencerminkan kasih, keintiman, kemitraan, dan tujuan bersama dalam membangun kehidupan dan keturunan.
Namun sayangnya, dosa masuk ke dalam dunia dan merusak segala sesuatu, termasuk pernikahan. Setelah manusia jatuh dalam dosa (Kejadian 3), relasi yang awalnya harmonis berubah menjadi penuh konflik: saling menyalahkan, dominasi, dan keinginan untuk menguasai satu sama lain. Dosa menciptakan jarak bukan hanya antara manusia dan Allah, tetapi juga antara suami dan istri.
Kita melihat dampak kerusakan ini hingga hari ini: perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan relasi yang toxic yang tidak lagi mencerminkan kasih dan kehormatan. Bahkan banyak pasangan Kristen pun bergumul di tengah tekanan zaman modern, di mana nilai-nilai dunia kerap merongrong keintiman dan kekudusan pernikahan.
Kristus Datang untuk Menebus Ciptaan-Nya — Termasuk Pernikahan
Kabar baiknya adalah: penebusan Kristus di kayu salib tidak hanya menyelamatkan jiwa manusia secara pribadi, tetapi juga memperbarui seluruh ciptaan—termasuk lembaga pernikahan.
Karena penebusan Kristus di kayu salib maka pernikahan Kristen adalah satu-satunya model pernikahan yang sifatnya proses spiritual. Pernikahan-pernikahan lainnya bersifat lebih merupakan sebuah proses sosial, banyak aturan yang lebih bersifat sosial daripada spiritual, sehingga ketika aspe-aspek sosial tidak terpenuhi maka terciptalah satu alasan dan kesempatan untuk mengakhiri pernikahan itu. Namun sebuah pernikahan Kristen didominasi oleh isu-isu spiritual, seperti misalnya analogi suami dan isteri itu sama dengan Yesus dan gereja sang mempelai wanita-Nya. Hubungan Kristus dengan mempelai-Nya, gereja-Nya adalah hubungan Covenant –hubungan yang ditandai dengan cinta dan kesetiaan tanpa syarat. Cinta-Nya yang besar telah terbukti ketika Dia mati di atas kayu salib untuk mempelai perempuan-Nya (Efesus 5:25b-27). Karena itu pernikahan bersifat long life covenant. Dalam pernikahan tidak ada perceraian. Setelah mengikatkan diri dalam marital covenant hanya kematian yang memisahkan suami-istri.
Suami: Mengasihi Seperti Kristus
Dalam Efesus 5:25, Rasul Paulus menyatakan:“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.”
Ini bukan sekadar kata-kata motivator atau nasihat relasional tetapi ini adalah Injil yang hidup di dalam pernikahan. Penebusan Kristus memberi nilai dan tujuan baru bagi pernikahan. Kasih Kristus di kayu salib menjadi teladan agung bagi kasih suami kepada istrinya. Kristus mengasihi jemaat dengan kasih yang rela berkorban, menyucikan, dan menyelamatkan. Kasih semacam inilah yang menjadi dasar kasih seorang suami.
Kristus tidak mengasihi jemaat karena layak, tetapi karena kasih-Nya yang tanpa syarat. Ia menyerahkan diri-Nya di kayu salib bagi jemaat yang penuh cacat dan noda, untuk menyucikannya dan mempersembahkannya sebagai mempelai yang mulia.
Demikian pula, seorang suami Kristen dipanggil untuk mengasihi istrinya bukan karena kelebihan atau penampilannya, tetapi karena ia telah menerima kasih Kristus lebih dahulu. Kasih ini aktif, penuh inisiatif, dan tidak bersyarat. Suami menjadi pelayan, bukan penguasa; pemimpin, bukan diktator; pembimbing rohani, bukan pemaksaan kehendak.
Istri: Menunduk Seperti Jemaat kepada Kristus
Paulus juga menulis dalam Efesus 5:22: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”
Ketundukan ini bukan bentuk penindasan, tetapi gambaran keindahan Injil. Seperti jemaat tunduk kepada Kristus yang mengasihi dan menebusnya, demikian pula istri tunduk kepada suami yang memimpin dalam kasih dan kebenaran. Penundukan ini dilakukan dalam kerelaan dan kepercayaan, bukan karena tekanan atau rasa takut.
Ini bukan relasi timpang, melainkan mutual submission (Efesus 5:21) dalam peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi.
Anak-Anak: Menghormati Seperti Jemaat Menghormati Kristus
Kasih dan penebusan Kristus juga membentuk relasi antara anak dan orangtua. Efesus 6:1 mengatakan:“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.”
Dalam keluarga Kristen, anak-anak diajar untuk taat dan menghormati, bukan karena aturan semata, tetapi karena mereka belajar mengenal Kristus. Mereka belajar bahwa menghormati orangtua adalah bentuk nyata menghormati Tuhan yang memberi kehidupan dan keluarga.
Dengan kata lain, seluruh relasi keluarga—suami, istri, anak-anak—dipulihkan dan diarahkan kembali kepada model Injil yang sejati.
Pernikahan: Kesaksian Hidup tentang Injil
Efesus 5:32 memberikan pernyataan yang mengejutkan: “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”
Artinya, pernikahan bukan semata-mata soal dua orang yang jatuh cinta. Pernikahan adalah panggung kecil tempat Injil dipertontonkan kepada dunia. Ketika suami mengasihi istrinya seperti Kristus, ketika istri tunduk dalam kasih seperti jemaat, dan ketika anak-anak hidup dalam ketaatan, dunia akan melihat gambaran Injil secara nyata.
Dalam dunia yang terus kehilangan arah tentang relasi, keintiman, dan komitmen, keluarga Kristen bisa menjadi kesaksian yang bersinar, bukan karena kesempurnaan mereka, tetapi karena kasih Kristus yang mengubah dan menopang mereka.
Kembali ke Salib Kristus
Untuk setiap pasangan Kristen, tantangan kehidupan pernikahan memang nyata. Tapi Injil memberi harapan. Kristus tidak hanya menebus individu, tetapi juga menebus dan memulihkan pernikahan. Ketika pernikahan kita berpusat pada salib, kasih akan menemukan bentuk sejatinya: pengorbanan, kesetiaan, dan kerendahan hati.
Mari membangun pernikahan kita bukan di atas perasaan, ekspektasi dunia, atau standar budaya, tetapi di atas kasih Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita. Di sanalah kita menemukan nilai, makna, dan kekuatan yang sejati—karena Kristuslah yang memberi nilai bagi pernikahan. (TB).
Ruang Kesaksian
"Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu sesudah orang puas minum,
barulah yang kurang baik,
akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang.”
Yohanes 2:10
Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang sangat baik, pada kesempatan ini saya Mario dan istri ingin menyaksikan tentang cinta kasih Tuhan Yesus di dalam kehidupan pernikahan kami yang sudah berjalan 5 tahun.
Kami mulai saling mengenal pada tahun 2014. Cara berpacaran kami layaknya pasangan yang munafik, sering ke gereja bersama-sama, namun seiring dengan itu sering berbuat dosa. Saya mengenal Tuhan dari orang tua, namun tanpa hati yang bersyukur dan berterima kasih atas anugerah yang Tuhan sudah beri.
Tanggal 16 Juli 2016 Tuhan mempersatukan kami dalam satu pernikahan yang kudus. Pernikahan yang terasa amat berat yang saya rasakan, karena 2 hari sebelum acara pernikahan, ibu saya meninggal dunia. Agak mengagetkan, karena menurut dokter ibu terkena serangan jantung, padahal sebelumnya ibu terlihat sehat-sehat saja. Mungkin karena kelelahan, beliau habis pulang dari luar kota dan berlanjut dengan kesibukan lainnya.
Namun pernikahan kami tetap berlangsung dalam adat Batak, karena kami berdua keturunan Batak yang sangat teguh memegang tradisi. Orang tua begitu mendidik saya akan bibit, bobot dan bebet, semacam alat kalibrasi bagi orang Jawa untuk menentukan calon menantu yang baik. Bahwa pernikahan dengan suku yang sama akan mempermudah semua urusan.
Setiap orang di awal pernikahannya pasti mempunyai impian-impian yang bagaikan sorga, kami justru sebaliknya. Karena 2 tahun di awal usia pernikahan, rumah tangga kami bagaikan neraka di dunia. Istri saya suka memukul saya secara fisik, mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan, menyumpahi setiap anggota keluarga yang dia benci.
Semuanya timbul karena dari pihak keluarga saya, banyak yang menyalahkan dia; seolah-olah meninggalnya ibu karena dia. Dan saat itu saya begitu khawatir memikirkan bapak saya, rasa bersalah akan kematian ibu di awal pernikahan kami, sehingga saya takut kehilangan bapak.
Prinsip pernikahan seperti pada Matius 19:5, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya" tidak kami lakukan dengan semestinya. Saya sebagai suami kurang memberikan kasih terhadap istri, sedangkan istri hanya mendengar apa kata orang tuanya dan sering mendengar masukan-masukan yang negatif. Sehingga dalam 2 tahun pernikahan kami, tidak ada kasih dan hanya mencari jalan bagaimana caranya untuk bercerai.
Pada tahun 2018 Tuhan sungguh baik. Di tengah badai pernikahan itu, lahir seorang anak laki-laki yang kami beri nama Gabrian Matthew, yang artinya kekuatan atas anugerah yang Tuhan berikan. Anak yang begitu lucu, pintar dan menggemaskan. Sehingga kami bersatu padu dalam sukacita untuk membangun keluarga ini menjadi keluarga yang Tuhan inginkan.
Di dalam perjalanan 1 tahun pernikahan, kami bergabung dengan komunitas pasutri yang di pimpin oleh bapak Jaliaman Sinaga (Kepala Unit BP2N, GBI Jl. Jend. Gatot Subroto). Selama kami mengikuti acara camp tersebut, kehidupan pernikahan kami memang tidak langsung berubah, justru semakin di ambang kehancuran.
Namun rekan-rekan terus berdoa untuk kami. Di lain pihak kami juga rindu ingin dipulihkan secara rohani. Maka berangsur-angsur keadaan pernikahan menjadi lebih baik. Dengan memiliki komunitas rohani, kami sering didoakan, menerima banyak masukan dan saran-saran yang membangun hubungan dalam keluarga.
Hari berganti hari, bulan berganti tahun. Saya dan istri terus berusaha belajar untuk mengerti apa maksud Tuhan dalam kehidupan rumah tangga yang kami jalani. Kami mengundang Tuhan Yesus hadir dalam perjalanan cinta kami dan belajar mengucap syukur dalam segala hal, serta menikmati semua berkat yang Tuhan berikan. Terlebih dengan hadirnya buah cinta kami Gabe yang dalam bahasa Batak artinya jadi bagus, jadi baik.
Puji Tuhan, semakin hari kami semakin saling mengasihi, lebih memperhatikan dan lebih mencintai dari sekedar pacaran. Seperti ada tertulis dalam Pengkhotbah 4:12,
“Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.”
Dengan kehidupan rumah tangga yang diubahkan Tuhan, hari demi hari kami berubah, penuh dengan cinta, kasih, saling peduli satu sama lain. Kepada rumah tangga yang harmonis, yang dipulihkan maka Tuhan memberikan dan mencurahkan berkat-berkat-Nya yang berlimpah di dalam mahligai kehidupan pernikahan yang kami jalani.
Kami melibatkan Tuhan di dalamnya dan terus belajar untuk semakin dekat dengan Tuhan, karena kami percaya bahwa tanpa campur tangan Tuhan, keluarga kecil kami mungkin sudah hancur sejak dari awal. Tetapi sejak kami mengundang Tuhan Yesus, ada damai sejahtera, kasih dan cinta-Nya Tuhan mengalir dalam rumah tangga kami. Anggur yang baru selalu tersedia, sehingga cinta saya dan istri selalu bertambah manis dari hari ke hari. Terimakasih, Tuhan Yesus memberkati.
We use cookies to enhance your experience. By continuing to visit this site, you agree to our use of cookies.