Pada suatu hari di sebuah kota kecil di Jepang, datanglah seorang ibu berpakaian sederhana dan terlihat lusuh memasuki sebuah toko kue mewah di kota itu. Dia datang untuk membeli kue manju (kue yang terbuat dari kacang hijau berisi selai).
Pelayan-pelayan toko itu sangat terkejut melihat ibu itu, karena pakaiannya yang sangat sederhana menunjukkan bahwa dia orang miskin, sementara toko itu adalah tempat berbelanja orang-orang kaya. Karena itu seorang pelayan dengan terburu-buru membungkus kue yang dipesan Ibu itu, dengan maksud supaya si Ibu bisa segera meninggalkan toko. Tapi belum sempat dia menyerahkan kue itu, seorang bapak setengah baya melangkah keluar dari ruang dalam toko itu, dia adalah sang pemilik toko.
Bapak pemilik toko tersebut berkata, “tunggu, biarkan saya yang menyerahkannya”. Kemudian dia menyerahkan bungkusan kue kepada sang Ibu, sambil sang Ibu menyerahkan uang pembayaran.
Pemilik toko itu membungkuk hormat, “terima kasih atas kunjungan anda.” Setelah sang Ibu berlalu, pemilik toko itu berbalik dan menemukan pelayan-pelayan tokonya sedang memandangnya dengan kebingungan, karena dia memang sudah hampir tidak pernah lagi turun tangan untuk melayani pelanggan.
“Saya harus melayaninya sendiri,” katanya, “Ibu tadi adalah seorang pembeli istimewa”. Pelayan-pelayan toko itu masih saling bertatapan kebingungan, tapi tak ada seorangpun yang berani bertanya.
Kemudian Bapak pemilik toko tersebut berkata,
“Selama ini yang membeli kue di toko kita adalah orang-orang kaya. Mereka bisa membeli berapa saja dan kapan saja, sekalipun harga kue di toko kita agak mahal. Tapi Ibu tadi pasti harus mengorbankan sebagian besar dari penghasilannya yang tidak seberapa untuk bisa menikmati kue manju dari toko kita. Karena itulah dia harus dilayani dengan hormat!”
Dari cerita singkat diatas, apa makna yang dapat kita pelajari? Bukankah terkadang kita terdorong untuk menilai seseorang dari apa yang dia pakai, apa yang dia punya, dll? Hal ini tidak saja terjadi pada kehidupan orang-orang dunia, tetapi terjadi juga di gereja. Mestinya gereja tidak berpandangan seperti cara dunia memandang seseorang.
Setiap kita memiliki nilai yang sama di hadapan Tuhan. Kehidupan gereja harus mengedepankan penghargaan dan perhatian terhadap setiap individu tanpa memandang latar belakang atau status sosial.
Seperti yang tertulis dalam Alkitab:
“Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati”.
1 Samuel 16:7
Tuhan melihat hati manusia, bukan penampilannya. Oleh karena itu, kita juga harus memperhatikan kebaikan dan kelebihan setiap orang dan tidak hanya berfokus pada belaka hal-hal dunia semata. Amin. (MA)